“Jon!” teriakan itu bergema untuk yang kesepuluh
kalinya.
Aku tak mempedulikannya, tangan ini masih meraba-raba
mencari celah diantara bebatuan tebing. Kakiku masih mantab berpijak di salah
satu bebatuan. Mataku masih memberikan fokus terbaiknya di tebing ini dan aku
terus mendaki.
“Woi, Jono istirahat dulu lu. Lu belum berhenti dari
kita tracking tadi!” peringatan itu
berkumandang lagi dari teman-teman di bawahku.
“Tanggung, waktunya sebentar lagi nih.” Jawabku terengah-engah,
teman-temanku hanya bisa menghela napas lalu membereskan peristirahatan mereka
dan bersiap-siap menyusulku.
Mata dan otakku kini difokuskan pada bebatuan tebing
di depanku. Tebing ini sudah kutaklukan puluhan kali baik sendiri, bersama
ASTACALA –mahasiswa pecinta alam di kampusku-, maupun bersamanya. Ya bersamanya,
bersama gadis berkuncir kuda tersebut. Gadis yang berhasil mengalihkan fokus
mata, otak dan hatiku dari tebing ini kepadanya. Gadis yang telah memberikan
beribu makna kehidupan kepadaku. Mengajarkan arti dari sebuah cinta dan kasih
sayang yang bukan melebihi orang tuaku tapi memiliki tempat tersendiri di tiap
ruang hatiku. Dari semua itu pula, dia gadis yang juga merenggut semua
kupu-kupu yang ia ciptakan dari perutku.
“Argh, sial.” Aku salah memegang celah tebing dan
hampir membuatku terperosok jatuh bila tidak dengan sigap aku meraih batuan
menojol di dekatnya.
“Fokus Jon, fokus. Tinggal beberapa meter lagi.”
Kembali aku memfokuskan diri pada tebing di depanku. Lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku untuk memanjat sisa tebing itu. Tidak
terlalu sulit juga bila aku sudah bisa fokus pada tebing di depanku. Tidak berselang
lama aku sudah sampai di puncaknya, keringat sudah bercucuran membasahi kaus
hitamku. Aku melihat ke bawah dan teman-temanku sudah hampir setengah jalan
memanjat tebing ini.
“Woi, kalian buruaan tinggal sepuluh menit lagi nih
waktunya.” Teriakku sambil melihat jam tangan yang menunjukkan waktu pukul
14:35.
Aku mendengarkan teriakan dari bawah sana menandakan
bahwa dalam sepuluh menit kedepan mereka sudah akan sampai disini.
Kutelusuri puncak ini, mengorek kenangan yang
seharusnya kuhilangkan. Ratusan kali mencoba maka ratusan kali pula aku gagal
dan puluhan kali juga aku kembali ke tebing ini. Aku duduk di depan sebuah batu
besar. Batu yang benar-benar besar hingga orang bisa duduk diatasnya. Aku menatap
batu itu lama.
“Jon, sudah jam 14:45.” Dewa salah seorang temanku
menyadarkanku.
Kini aku berdiri masih menatap batu besar itu, nanar. Aku mengeluarkan sebuah kotak beludru dari kantung celanaku.
“Sheila will you marry me?” aku menahan nafas, mencoba bertahan agar air mata ini tak lolos dari mataku.
Sheila orang yang membuatku jatuh hati dan membuatku benar-benar gila saat kehilangannya dua tahun lalu di tebing ini, di batu besar ini. Semuanya masih terekam jelas tentang rencanaku melamarnya di tebing ini, tentang perjalanan kami dan tentang ia yang terjatuh dari batu besar ini.
Untuk Sheila
Sahabat,
Petualang dan Kekasih Hatiku
22 Jul 1990 –
23 Jul 2015
Love Jon
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
feed my blog nyoo !!