hehehehe, maaf karena jarang update lagi, entah kenapa pak ilham sama pak mood jarang dateng nemuin aku #eaaaa
stop kali ini mau share ceritaku yang terinspirasi sama Finn-nya mamak keav :D
so enjoy aja yaa :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
The Carpenter
Hutan itu tampak hebat dengan ribuan pohon tinggi
menjulang berlomba-lomba mencapai kaki langit. Berbagai tumbuhan tropis pun
tampak menyemarakan hutan hebat tersebut. Disela-sela keagungan hutan tersebut
terdengar suara riuh rendah para penghuni hutan. Mulai dari yang tingginya
berpuluh-puluh meter hingga hanya beberapa meter saja, mereka semua seperti
mengadakan lomba lari massal yang diikuti oleh semua penghuni hutan.
Burung-burung berkoak ramai memeriahkan suasana perlombaan itu, para predator mengaum
keras tak mengindahkan berbagai hewan yang biasanya akan membuat mata mereka
kelaparan. Keagungan hutan sekarang seperti tertutup oleh kekacauan perlombaan
lari ini. Mata para hewan itu tampak keakutan menatap langit yang sudah berubah
senja walau sekarang terbilang masih pagi. Bintang-bintang hitam menghiasi pagi
berlangit senja ini. Langit seperti mengadakan parade bintang jatuh walau
mereka tak dapat mengabulkan satu permohonan pun dari para penghuni hutan.
Di tengah hutan tersebut berdiri dengan megah sebuah
gunung raksasa. Gunung itu tampak menjulang diantara ribuan pohon yang menghiasi
hutan hebat tersebut. Ia adalah pusat dari hutan hebat itu. Gunung yang dahulu
adalah sumber kehidupan para penghuni hutan, kini tampak berang. Asap sudah
mengepul hebat mengeluarkan abu vulkanik dan berbagai material bumi yang dengan
segera merasuk dalam sistem respirasi para penghuni hutan. Secara perlahan dari
mulut kawah terlihat semburan merah yang semakin membesar dan mulai memuntahkan
batu-batu api yang segera membakar hutan hebat itu. Lava merah menyala segera
keluar dari mulut kawah menyelimuti gunung agung tersebut. Para penghuni hutan
berlari semakin cepat dengan bahaya tepat dibelakang mereka. Kini lava sudah
mulai turun mengikuti aliran sungai dibawah gunung agung tersebut. Lavanya yang
panas sewarna dengan senja di langit pagi ini, dengan letupan-letupan kecil
yang dalam beberapa detik segera menyapu bersih apapun yang mereka lewati.
Keadaan bertambah semarak dengan hujan meteor dan...
TING..TONG...
“Finn, buka pintunya,” sebuah suara manusia memecah
keadaan hutan tersebut.
TING...TONG...
“Ayolah Finn aku tahu kau sedang di dalam, cepat buka
pintunya.”
Dengan segala keengganan seorang pria blonde berdiri
dari singasananya yang telah turun bebeapa centi karena terlalu lama ia duduki.
“Ahh, lama sekali kau membukakan pintu.” Dari arah
pintu segera masuk seorang pria dengan satu kantung belanjaan di tangan kiri,
dan tangan kanannya yang entah memegang apa. Mungkin boneka dilihat dari
bulu-bulu putih yang menyembul dari dalam jaketnya.
Finn kembali duduk disinggasananya melanjutkan
menonton “The Greatest Volcano” ditemani dengan segelas susu hangat dan
beberapa nachos yang dibelinya dalam perjalanan pulang ke apartemen ini.
“Kau belanja apa saja?” tanya Finn dengan mata masih
terfokus pada adegan lahar panas di depannya.
“Apa kau tidak lihat kulkas kita sudah kosong
melompong seperti itu?” jawab Ray ketus.
“Ditinggal beberapa hari saja sudah seperti ini,
baagaimana nanti. Kuyakin kau hanya akan bertahan hidup dengan makanan seng
itu.” Ray menatap tumpukan kaleng kosong bekas sarapan Finn tadi pagi.
“Hahahaha, untuk itulah kau disini Ray.”
“Aku lapar kau mau masak apa hari ini?”
“Paprika bakar,” jawab Ray asal sambil terus
mengeluarkan barang belanjaan satu persatu
“Hei kau tahukan kalau aku tidak suka paprika,” Finn
mengalihkan pandangan lahar panas tersebut ke pria yang masih sibuk
mengeluarkan barang belanjaan dengan satu tangan itu.
“Kan masih ada makanan sengmu, kau makan itu saja.”
“Ohhhh, jangan begitulah Ray.” Ujar Finn dengan mimik
sedikit memelas.
GUK!!
Keheningan
menyusup diantara partikel karpet merah yang tertumpah kopi beberapa waktu lalu
dan juga diantara dua manusia yang sedang berdebat tadi. Mereka saling pandang,
siapa salah satu dari mereka yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.
GUK!!
Mata mereka
saling bertemu sebuah tanda tanya jelas tergambar di retina mereka.
“Ray...,”
Finn menguak kesunyian ini.
Ray
mengalihkan pandangan sambil mempererat jaket kulit hitam tebalnya.
“Ray, apa
yang kau sembunyikan?” tatapann Finn sedang menyelidik boneka putih yang ada
dibalik jaket Ray.
“Tak ada!!
Aku sudah selesai, aku akan menengok apakah kamarku masih utuh atau sudah porak
poranda,” dengan cepat Ray berusaha lari ke kamarnya.
“Jangan
bercanda Ray, lepaskan jaketmu!”
“Tidak,”
“Ayolah Ray
apa yang kau lakukan dengan jaket kulit hitam tebal itu di musim panas seperti
ini?” Finn sudah berhasil menghalangi jalan Ray menuju kamarnya.
“Dan kau
sendiri, menonton “The Greatest Volcano” dengan susu dan nachos panas? Apakah
itu tidak menentang musim panas namanya?” dalih Ray sambil terus berusaha
melarikan diri.
“Musim
panas disini kurang panas,” kini Finn mencoba memegang ujung jaket Ray, “hey,
jangan pergi kau Ray.”
“Kurang
panas bagaimana, dengan suhu 18° saja kita sudah kepanasan?” jawab Ray, “jangan
tarik-tarik jaketku Finn.”
“Disini masih
terlalu dingin mom bilang waktu dia honey
moon ke Lombok cuacanya lebih panas dari disini, dan kulit dad langsung
menghitam walau hanya berselancar dua jam saja.”
“Kalau
begitu kau saja nanti yang kesana, sekarang lepaskan jaketku Finn!” tepat saat
itu boneka dengan bulu-bulu putih menyembul dari balik jaket Ray.
GUK!!
“Prince??”TBC...
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
feed my blog nyoo !!